Memahami al-ghafar al-ghafur dan al-afwu nya Allah


Al-Ghaffar, adalah sifat kepengampunan-Nya secara umum. Ia juga lebih terkait ke sisi kuantitas kepengampunan-Nya. Akar kata غ-ف-ر, yang biasanya terkait dengan makna menutup-nutupi, menyembunyikan, melindungi. 

Misalnya, di sebuah desa, Pak A dikenal dengan sifatnya yang tidak pendendam, tidak mudah sakit hati, tidak suka melihat kesalahan orang lain dan tidak suka mengungkit-ungkit kesalahan orang maupun membicarakannya. Ia cenderung akan lebih fokus pada aspek positif seseorang daripada aspek negatifnya. 

Sifatnya ini membuat orang merasa tenang dan dan aman berinteraksi dengannya. Orang tidak merasa takut berlebihan untuk berbuat dan berbicara dalam berinteraksi dengan Pak A, karena kalau pun kita tidak sengaja keliru kata atau sikap, Pak A tidak akan mempermasalahkannya.

Kalau pun dulu kita pernah melakukan kekeliruan, kita yakin seandainya nanti kita sedikit bermasalah dengan Pak A dan membuatnya tidak suka, Pak A tidak akan mengungkit-ungkit kesalahan kita yang dulu itu untuk memojokkan kita, "Kamu itu dulu kan begini dan begitu ke saya." Tidak, Pak A bukan orang yang begitu. 

Mau berapa kali pun kita nggak sengaja berbuat kesalahan kepadanya, yakin kita bahwa dia lagi-lagi pasti akan tidak mempermasalahkannya. 

Sifat pak A di tataran ini kira-kira seperti asma Al-Ghaffar pada Allah. Ini asma yang berlaku secara umum. Itu Al-Ghaffar. Sifat kepengampunannya yang umum. Dia Maha Pengampun, tapi itu baru tentang diri-Nya.

Lalu, suatu hari saya sedang naik motor dengan sangat tergesa-gesa ke rumah sakit, ada keluarga dekat yang gawat. Kita sedang terburu-buru, tapi mobil di depan kita ini jalannya lambat. Mau disalip nggak bisa. 

Saking keselnya, saya klakson-klakson terus. Begitu ada kesempatan, saya salip, jajarkan motor kita dengan jendela pengemudi, sambil menampar spionnya saya teriak ke pengemudi, "Goblok!"

Setelah terlajur memaki, saya terperanjat. Baru saat itu sadar bahwa pengemudi mobilnya adalah Pak A. Saya melihatnya, dan dia melihat saya. 

Namun saya sadar bahwa saya sedang mengenakan helm: mungkin dia tidak mengenali saya. Jadi, saya kebut saja motor dan kabur, berharap semoga Pak A tidak mengenali saya. 

Sebenarnya Pak A mengenali saya. Kita bisa bayangkan bagaimana perasaannya. Dan, saya kabur pula. 

Namun, Pak A memilih untuk berpura-pura tidak tau tentang kejadian itu. Dia tetap ramah pada saya, bahkan menyapa duluan, mengajak bicara, mengundang makan di rumah, seperti tidak pernah ada apa-apa. Sikapnya itu bahkan sampai membuat saya yakin, bahwa jangan-jangan Pak A memang tidak tau bahwa sayalah yang menggebrak mobilnya dan memakinya. 

Walaupun sebenarnya Pak A tau dan hatinya tergores, namun ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Ia menutup persoalan itu, dan tetap menghargai saya sebagaimana seharusnya. Dia malah menjaga perasaan saya agar saya tidak salah tingkah atau malu ketika berinteraksi dengannya. 

Ini kira-kira asma Al-Ghafur pada Allah. Sifatnya lebih khusus dari Al-Ghaffar. Ini juga terkait dengan kepengampunan dengan adanya suatu interaksi. 

Allah tau semua dosa-dosa kita, kekurangajaran kita, bagaimana kita 'menyakiti' perasaan-Nya. Dia mengingat semua itu. Namun, Dia memilih untuk menutup-nutupi dosa-dosa kita itu. Untuk tidak mengungkit-ungkitnya. 

Ini bisa di dunia, bisa di akhirat. Allah Al-Ghafur mengetahui dan mengingat semua dosa kita, namun Dia memilih untuk tidak mempermasalahkannya lagi, baik di dunia maupun di padang Mahsyar kelak. Atau, Dia memperlihatkan semua dosa kita di hadapan semua manusia kelak, namun Dia memilih untuk tidak mengadili dosa-dosa kita, walaupun dosa kita ada bergunung-gunung. 

Dengan kata lain, Dia memilih untuk mengampuni kita. Dosa-dosa kita ada, tapi Dia memilih untuk tidak akan mempermasalahkannya.

Inilah pengertian asma Al-Ghafur. Ini lebih terkait dengan kualitas kepengampunannya, dan kepada siapa Dia memberikan pengampunan. 

Nah, sekarang, Pak A punya anak-anak yang sangat dicintainya. Kadang anaknya ini membuat kekeliruan. Memecahkan piring, merusak TV, dan lain sebagainya. Atau sekali waktu anaknya ini kelepasan 'memarahi' ayahnya. Ngambek, minta uang jajan tidak dikasih, atau apalah. 

Bertahun-tahun kemudian, anak-anaknya ini datang pada ayahnya dan meminta maaf atas kesalahan mereka dulu, yang 'ini' dan yang 'itu'. Pak A malah bingung, kesalahan yang mana? Apa yang perlu dimaafkan? Pak A bahkan tidak mengingatnya lagi kesalahan yang mana, dan kapan. Toh, apapun kesalahan mereka, mereka adalah anak-anaknya yang sangat dicintainya. 

Untuk orang-orang tercinta, kita bukan mengampuni, tapi memaafkan. Kita tidak akan mengingat-ingat kekeliruan mereka. Kita tidak akan sakit hati ketika anak kita memecahkan piring, merusak TV, mengungkit-ungkit bahwa mereka pernah menyakiti hati kita kapan dan di mana. Kita bahkan lupa kapan kejadiannya. 

Kesalahan-kesalahan mereka lebur saja, hilang dalam waktu dan ingatan kita. Pokoknya kita mencintai mereka, titik. Kesalahan mereka benar-benar tidak ada jejaknya di ingatan kita. 

Ini adalah asma Al-'Afuw pada Allah. Kata ع-ف-و, terkait dengan makna 'hilang bekasnya, menghapus jejak, lebur tanpa bekas'. Asma ini untuk kalangan khusus, untuk kalangan yang Dia cintai. 

Di padang Mahsyar kelak, dosa-dosa kita bahkan dianggap tidak ada. Lenyap. Bukan saja Dia tidak mempermasalahkannya, namun seluruhnya telah dihapus oleh-Nya. Itu al-'Afuw.

Ringkasnya, kita dikenal dengan sifat tidak suka mempersoalkan kesalahan yang mungkin akan orang lakukan pada kita. Itu asma 'Al-Ghaffar' pada Allah. 

Kemudian, bagi orang-orang yang pernah melakukan kesalahan pada kita (dan sangat mungkin akan melakukan kesalahan lagi) kita tidak akan mempersoalkannya. Apalagi untuk mengungkit-ungkitnya untuk mendesak dan membuktikan kekeliruannya, 'kamu memang begini dan begitu dari dulu'. Atau, misalnya bagi yang pernah mencuri di rumah kita atau orang yang pernah memaki kita, kita memilih untuk tidak mempersoalkannya. Mungkin kita sakit hati, tapi kita memilih untuk tetap bersikap baik pada orang-orang itu dan menutup persoalan itu. Ini mirip asma 'Al-Ghafur' pada Allah. 

Terakhir, bagi anak-anak kita, pasangan kita, ibu kita, kita bahkan tidak mengingat sama sekali apa kesalahan-kesalahan mereka. Bagi kita, kesalahan-kesalahan mereka tidak pernah ada. Kekeliruan yang mereka lakukan tidak penting sama sekali. Cinta kita pada mereka jauh lebih besar dari kesalahan sepele yang pernah mereka lakukan. Itu asma Al-'Afuw pada Allah. 

Kita ingin disikapi-Nya dengan asma yang mana, tentu terkait dengan asma-Nya yang mana yang selalu kita usahakan untuk kita pakai dan kita gunakan terhadap orang lain. 

Semoga bermanfaat untuk mengenal-Nya sejengkal lebih jauh, dan untuk memanggil-Nya dengan nama yang lebih tepat ketika berdoa.

Mau donasi lewat mana?

BRI - Ahmad Rozi (4128-01-023304-53-0)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
© Jendela Aswaja. All rights reserved. Developed by Jago Desain