Memaknai Bulan Suci Ramadhan dengan Persaudaraan Islamiyah, Kebangsaan dan Kemanusiaan oleh Kang Mukhit (Gintung Lor)

Kita semua merasa senang dengan datangnya bulan suci ramadhan. Rasa senang bisa dimaknai dari tingkat kesadaran kita beragama. Kenapa kita senang dengan datang bulan suci ramadhan? Karena, bulan ramadhan penuh keberkahan, Rahmat dan pengampunan. Bentuk kesenangan kita wujudkan dengan kegiatan-kegiatan yang maslahat, mengaji, tadarus, silaturahim, dan puasa dengan iman karena Allah.

Umat Islam menjalan puasa pada tanggal 1-10 akan mendapatkan rahmat Allah, menjalankan puasa pada tanggal 11-20 mendapatkan Maghfiroh atau pengampunan dari Allah, dan menjalankan puasa di tanggal 21 sampai akhir akan mendapatkan kembebasan dari Api neraka. Hal ini menjadi niai yang terus di harapkan oleh umat Islam.

Umat Islam yang diwajibkan oleh Allah untuk beribadah puasa itu ada tiga, yakni orang yang beriman, orang yang sehat dan memiliki berakal waras. Bagaimana bentuk puasa kita yang Imanan Waktisaban itu? Puasa Imanan Watikhsaban itu berpuasa yang tidak memaksa dan mengeluh. Kita menjalankan ibadah puasa ini penuh dengan kesadaran, dan kewajiban sebagai hamba Allah. Walaupun kita sering puasa yang sah secarah syariatnya saja, tapi hati masih penuh dengan amarah dan ambisi. Namun, Allah tetap menerima puasanya orang beriman. Kenapa Allah mewajibkan puasa kepada orang beriman? Sebab Allah sangat mengasihi orang-orang yang beriman. Dengan keimanan kita kepada Allah, kita masih bisa menjalankan ibadah yang bersifat menahan emosi dan ambisi, tidak makan dan minum, menjaga hati dari rasa marah, nafsu dan egois. Sehingga Allah memberikan upah pahalah yang tak terhingga bagi orang beriman yang berpuasa.

Di bulan ramadhan umat Islam di bagi 4

  1. Orang Islam diberi kekuatan puasa dan shalat Sunnah tarawih
  2. Orang Islam diberikan kekuatan puasa tapi tidak mampu untuk tarawih.
  3. Orang Islam diberi ketidak mampuan berpuasa tapi mampu shalat tarawih.
  4. Puasanya dan tarawihnya tidak ada kemampuan.

Dengan bentuk empat ini, kita sebagai umat Islam harus bisa menyadari bentuk puasa kita, sehingga kita tidak menghina orang-orang yang tidak diberi kekuatan menjalankan ibadah puasa. 

Ada kisah tentang syeh Abdul Qodir Al Jailani dalam memandang dirinya dan memandang manusia lain dalam sisi kemanusiaan. Seperti ketika syeh Abdul Qodir Al Jailani memandang anak kecil, syekh Abdul Qodir merasa dirinya rendah dan anak kecil lebih mulia dari dirinya, karena anak kecil masih suci dari dosa. Memandang orang tua, bahwa orang tua sudah mampu beribadah, sedangkan dirinya baru mulai belajar ibadah. Dalam melihat orang bodoh yang melakukan dosa itu wajar saja, sebab ketidak tahuannya, sedangkan dirinya sudah mengerti tapi masih melakukan kesalahan dan dosa. Ketika melihat orang pandai, syekh Abdul Qodir memantaskan orang pandai yang mengerti agama ketika beribadah. Saat melihat orang kafir, kalau Allah memberikan Hidayat bisa langsung mendapat pengampunan Allah. Sedangkan saya sudah iman tapi tidak tahu di akhir hayatnya masih membawa iman atau tidak. Cara pandang Syeh Abdul Qodir dalam melihat manusia itu dengan sisi kemanusiaan nya, dan tidak merasa dirinya lebih unggul dari manusia lainnya. Sehingga syeh Abdul Qodir Al Jailani terus belajar untuk menghormati, menjaga hubungan, dan sadar akan kemanusiannya.

Jangan sampai kita menjadi manusia yang tidak bisa menghormati manusia, tidak menghargai adanya manusia. Dengan adanya bulan ramadhan ini, kita jaga seluruh hubungan kita sesama manusia, dari sisi keimanan, persaudaraan dan kehormatan diri.

Kuliah ramadhan ke-2 kang Mukhit Gintung lor


Editor: Kholil Baehaqi

Pimpinan Redaksi: M. Arif al-Bony

Mau donasi lewat mana?

BRI - Ahmad Rozi (4128-01-023304-53-0)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
© Jendela Aswaja. All rights reserved. Developed by Jago Desain