Komitmen NU dalam Kacamata Luar, Pandangan Sidney Jones dan Zamakhsyari Dhofier terhadap NU dalam Merawat Jagat dan Peradaban

 

Perkembangan Islam di Indonesia tentu telah menjadi sebuah pengamatan yang tidak akan pernah berhenti. Adanya  Organisasi Keagamaan dalam mengembangkan nilai-nilai Islam telah memberi warna sendiri bagi umat Islam khususnya di Indonesia, karena bagaimanapun kehidupan beragama pada dasarnya bukan hanya terletak pada ritualitas belaka tetapi juga nilai-nilai yang ada di dalamnya. 

Berbicara terkait Ormas Keagamaan dari sekian banyaknya Ormas-Ormas Keagamaan yang ada di Indonesia tentu ini membuktikan bahwa perkembangan islam di Indonesia berkaitan erat dengan hal tersebut. 

Adanya Ormas keagamaan di Indonesia tentu telah memberikan sebuah corak atau "Organization Identity" yang erat kaitannya dengan identitas umat beragama, salah salah satunya Jam'iyyah Nahdlatul Ulama yang menjadi salah satu Ormas Keagamaan tertua yang sudah ada sejak tahun 1926 hingga hari ini di tahun 2022.

Bertepatan dengan moment Harlah Nahdlatul Ulama yang ke-96 tentu ini menjadi bahan diskursus yang menarik dimana sampai hari ini dari Januari tahun 1926 - 2022 Organisasi Jam'iyyah Nahdlatul Ulama masih tetap konsisten dan bertahan ditempa zaman dari masa ke masa. 

Di peringatan Hari Lahirnya yang ke 96 Nahdlatul Ulama mengambil sebuah tema "Merawat Jagat, Membangun Peradaban", tentu tema ini menjadi salah satu ciri sekaligus komitmen Nahdlatul Ulama dalam menentukan arahnya ke depan. 

Sebagai Organisasi Jam'iyyah  yang sudah mencapai 96 tahun dan menjelang 100 tahun tentu NU telah melalui banyak rintangan, tantangan dan penempaan dari masa ke masa. Akan tetapi dari situlah NU sampai hari ini masih tetap konsisten merawat nilai-nilai keagamaan, kebhinekaan dan kebangsaan. Hal ini mencirikan bahwa NU adalah Organisasi Besar yang tidak mudah goyah dan sulit untuk dihancurkan, kendati ada beberapa kelompok yang berusaha melemahkan warga NU dengan goncangan dari kelompok Islam garis keras "extrimisme" yang tidak sejalan dengan harokah Nahdlatul Ulama. 

Bila melihat dari kacamata luar seorang Peneliti yang meneliti NU seperti Sidney Jones dan Zamakhsyari Dhofier dalam salah satu tulisannya, mengemukakan bahwa dalam Nahdlatul Ulama ada sebuah perpaduan antara perpautan dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan ini yang merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang di lingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan blatant yang timbul dari modernisasi (Prisma, 2000).

Dari tradisi keilmuagamaan seperti itu sudah tentu logis kalau kemudian muncul pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak "Hitam-Putih". Perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak pada kehidupan dunia atau pun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan.  Hal ini sudah tentu ada implikasinya sendiri pada pandangan kenegaraan yang dianut warga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmuagamaanya. Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada Pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. 

Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberikan legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan "fatwa perang jihad" yang dikeluarkan Rais Akbar NU KH. Hasyim Asy'ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia. Ketentuan yang sama juga yang membuat NU menolak kehadiran "Negara Islam Indonesia" yang didirikan Kartosuwiryo. 

Dari pembahasan di atas terkait komitmen NU di Harlah ke 96 tentu tidaklah mudah menjaga komitmen yang sudah terbangun, tetapi pelajaran dari pengalaman di masa silam setidaknya menjadi spirit dan ruh yang bisa memberikan keteguhan dalam menjalankan roda Organisasi Besar yakni Nahdlatul Ulama. Semoga di Harlah NU ke 96 ini Nahdlatul Ulama bisa terus memberikan solusi-solusi dan jawaban atas problematika yang ada baik skala lokal maupun Internasional.



Penulis : Royan Fahrurrozi

Editor : Kholil Baehaqi

Pimpinan Redaksi : Arif Al-Bony

Mau donasi lewat mana?

BRI - Ahmad Rozi (4128-01-023304-53-0)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
© Jendela Aswaja. All rights reserved. Developed by Jago Desain