Menganalisis Kembali Konsep-konsep Pendidikan Karakter

Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/TfJtYppf3vYc5tvG6
 

Jendelaaswaja.com - Pendidikan karakter merupakan gabungan dua kata yakni pendidikan dan karakter. Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sedangkan makna karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. 

Dari definisi kedua kata di atas maka pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan bijak dan mempraktikannya  dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.[5] Definisi lainya dikemukakan oleh Fakry Gaffar :“Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi tersebut, ada tiga ide pemikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh kembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku.

Dalam kaitannya Pendidikan Karakter yang mempunyai banyak definisi sampai saat ini masih merupakan "Grand Desain" yang merupakan konsep-konsep yang masih belum maksimal dalam prakteknya. Kendala dan hambatan-hambatan yang terjadi pada nyatanya real di lapangan tidak semudah apa yang dilakukan. Terkadang konsep-konsep itu masih semu dan hanya berhenti dalam batas diskusi bukan ke tahap aksi. 

Saat ini Pemerintah melalui konsep-konsep Pendidikan dari mulai Kemendikbud, Dirjen Pendidikan Agama Islam sebenarnya poin inti dari Pendidikan selalu memasukan konsep Pendidikan Karakter, namun pada aksinya terkadang belum semaksimal mungkin. Lalu dimana letak kesalahannya ? tentu, ini barang yang rumit bagi Pendidikan kita dengan seabreg permasalahan-permasalahan yang dapat ditemukan. Dari mulai kesejahteraan guru, kualitas sarana dan prasarana, kesehatan baik secara mental maupun jasmani ditambah lagi isu-isu yang harus dituntaskan terkait pelecehan seksual yang terjadi di lembaga Pendidikan yang ada di negeri ini. Akan tetapi disini kita bukan mencari kesalahan siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini, karena pada dasarnya ini adalah tanggung jawab bersama, maka akan lebih elok jika kita bersama-sama mencari solusi akan ketimpangan ini. 

Rekonstruksi Pendidikan dan Pola yang dilakukan oleh Pemerintah sebenarnya sudah bagus akan tetapi praktek-praktek dipalangan terkadang tidak sesuai harapan. Bila kita bisa mengerucutkan faktor "human eror" pun bisa menjadi salah satu faktor dari sekian banyak faktor. 

Kaitannya dengan analisis Pendidikan karakter tentu ini bukan tanggung jawab pemegang-pemegang kebijakan pendidikan semata, tetapi akan menjadi lebih elok jika semua unsur baik masyarakat, guru dan semua kalangan apalagi lingkungan keluarga yang ada di sekitar kita, mereka bisa lebih benar-benar lagi memperhatikan bagaimana tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi sebuah budaya. 

Tokoh-tokoh Pendidikan Indonesia sebenarnya sudah memberikan konsep yang luar biasa bagaimana ke depan Pendidikan bangsa ini bisa sejalan dengan karakter bangsa kita sendiri, seperti Ki Hajar Dewantara, HOS. Cokroaminoto, Dowess Dekker, KH. Ahmad Dahlan, Moh. Hatta, Tan Malaka dan KH. Hasyim Asy'ari dan masih banyak lagi. Akan tetapi konsep-konsep itu sekarang jarang terdengar dan manifestasi dan implementasinya seolah kabur. Kita bisa ambil contoh adigum luhur seperti yang diucapkan oleh Ki Hajar Dewantara diantaranya, "ing ngarso sung tulodo, ing madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" adigum tersebut seolah hilang ditelan kemajuan dan gemerlapnya era terutama era digitalisasi. Sebenarnya adigum-adigum luhur seperti ini yang harus kita telaah dan bedah dalam menerapkannya ke dalam konsep Pendidikan terutama Pendidikan Karakter. 

Pada dasarnya pembahasan ini sebenarnya bukan ingin mengaburkan dan pesimis akan pendidikan kita hari ini, akan tetapi sebagai "critical thinking dan analitical thinking"  perlu kiranya kita membuka ruang bagaimana keselarasan pola pikir dalam mewujudkan sebuah aksi atau tindakan yang tidak hanya berpola pada Pengetahuan belaka atau kita mengenal istilah (transfer knowledge) saja, tetapi ada pola-pola yang mampu membuka mata hati yang berimbas pada hati sehingga mengolah hatinya menjadikan karakter yang puncaknya yakni adalah Pendidikan Karakter. 

Sebagai penutup Penulis sendiri mempunyai sebuah contoh konsep Pendidikan Karakter yang diadopsi dari Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari dalam kitabnya ''Adab Al alim wal muta’allim". Bila kita pernah mengaji kitab ini, dan mengambil sudut pandang tentang isi dan karakter tentu kitab ini adalah sebuah karya dari KH. Hasyim Asy'ari yang didalamnya sebenarnya mempunyai nilai-nilai dalam membentuk karakter bagi muridnya. Bila kita lebih jauh lagi konsep yang dibawa oleh KH. Hasyim Asy'ari ini telah berhasil membentuk karakter terutama yang ditetapkan pada Pondok Pesantren. Sebagaimana kita tahu Pondok Pesantren yang merupakan lembaga Pendidikan tertua di Indonesia mampu bertahan dengan gaya dan cirikhasnya sendiri yang  mempunyai karakter dan cirikhasnya sendiri dan menemukan jatidiri sebagai bangsa yang berakhlak. 

Diantara konsep yang beliau bawa diantaranya; Pendidikan karakter tertumpu pada hati (rasa) dibanding dengan akal (intelektual) dan anggota badan (keterampilan) Menekankan unsur hati sebagai titik tolak pendidikannya. Dengan hal itu akan mendorong terbentuknya etika dan pendidikan karakter.

Membedakan diri dari corak pendidikan progresivisme dan essensialisme. Dalam Pandangan KH. Hasyim Asyari pendidikan karakter dapat dapat dilakukan melalui pemberdayaan peserta didik itu sendiri, pendidik, kurikulum dan lingkungan pemberdayaan peserta didik melalui dirinya sendiri dapat dilakukan dengan mempertahankan factor fisik dan psikisnya serta semangat yang kuat ketika melibatkan dirinya dalam proses belajar. Sedangkan pemberdayaan peserta didik melaalui pendidik adalah dengan mencari calon pendidik yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu dalam kelayakannya sebagai pendidik, disamping itu kemampuannya menciptakan keadaan yang kondusif dalam belajar. 

Dalam aspek kurikulum hendaknya peserta didik diberikan beberapa disiplin ilmu pengetahuan yang disemangati oleh nilai-nilai keagamaan yang bersumber kepada Al-Qur’an dalam aspek lingkungan hendaknya diciptakan kondisi yang mempertahankan etika dan agama sehingga pada gilirannya dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik yang berkarakter. 

Sumber: Royan Fahrurrozi (Penulis buku dibawah kolong langit & pesantren literasi) 



Editor: Kholil Baehaqi

Mau donasi lewat mana?

BRI - Ahmad Rozi (4128-01-023304-53-0)
Merasa terbantu dengan artikel ini? Ayo dukung dengan donasi. Klik tombol merah.
© Jendela Aswaja. All rights reserved. Developed by Jago Desain